Minggu, 26 Februari 2012

Cerpen Edit

Bagaimana Nasibku ?

By Damyke Selviyana Safitri

Kota Jakarta, ibukota Indonesia yang selalu tampak mewah dengan kehiruk-pikukannya. Gemerlapnya kota ini membuat kota Jakarta seperti tidak pernah tidur dengan gedung-gedung bertingkat, mall-mall besar, dan tempat hiburan-hiburan malamnya membuat ibukota kita ini sebagai kota Metropolitan. Namun, disamping semua kemewahan Jakarta banyak yang hidup di kawasan rel kereta dengan rumah-rumah kardus yang dibuat di bawah kolong jembatan. Dan disinilah aku, namaku Ridho, hidup dalam rumah kardus kolong jembatan dan berjuang untuk hidup. Ibuku pergi dari kampung halamannya untuk mengadu nasib di Jakarta, kedua adikku masih kecil, dan ayahku sudah lama meningal dunia. Sekarang aku mengamen untuk membantu ibuku atau tepatnya akulah yang menggantikan ayah menjadi tulang punggung keluarga.
“Jreng ... jreng ... nona oh aku nona ...’’
Setiap lampu merah di sudut-sudut kota Jakarta adalah rejekiku. Mengetuk semua jendela mobil yang terhenti dan memainkan lagu-lagu sebisaku. Sebuah mobil membuka jendelanya dan menyodorkan selembar uang seribu rupiah kepadaku lalu segera menutup jendala mobilnya kembali.
“Terima kasih pak ..” Kataku sambil sedikit menundukan kepala tanda hormatku dan buru-buru beralih ke mobil yang lain sebelum lampu lalu lintas berganti hijau.
~~~
“Woy Dho, sini gabung ! kita punya barang baru nih bro !!” Pekik Ucok memanggilku. Dia adalah temanku. Sesama anak jalanan yang mengais sedikit nasi untuk makan sehari-hari di kota besar ini.
“Sori Cok, gue harus kejar setoran buat makan hari ini.’’ Tolakku setengah enggan dan ingin cepat-cepat pergi untuk melanjutkan kegiatan cari uangku.
“Payah loe Dho, pikiran loe kejar setoran mulu. Walaupun ngisi perut penting tapi sesekali kita have fun lah. Kalau gitu-gitu mulu kita bisa mati kebosenan tau. Makanya, gue sama Didot  punya yang baru nih. Stok juga lagi banyak, jadi gue berbaik hati berbagi ama loe. ” Lanjutnya menawarkan barang berbentuk bubuk di tangannya padaku. Setelah itu mereka menutup sebelah hidungnya dan menghisapnya dalam-dalam.
Barang haram. Ya, itulah yang sedang ditawarkan Ucok dan Didot kepadaku. Narkoba, ganja, ekstasi, dan sejenisnya bukan hal yang tabu lagi untuk di perbincangakan atau digunakan di Ibukota ini. Baik orang biasa, para pelajar, para artis, dan bahkan anak jalanan sepertiku yang hidup serba susah. Mereka bekerja setiap hari mencari uang terkadang bukan untuk makan sehari-hari mereka tetapi untuk membeli barang haram tersebut. Entah dari mana mereka mendapatkan barang itu. Setiap harinya pasti ada anak jalanan yang sedang “make” dan sakau. Tak jarang pula dari mereka yang over dosis dan berakhir dengan kehilangan nyawa. Mereka menjadi para pecandu dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan barang haram tersebut tak heran tubuh mereka sangat kurus ceking seperti hanya diselimuti tulang tanpa daging. Mata mereka pun kuyu dan sayu seperti tak pernah tidur beberapa bulan.
“Gue kan punya tanggungan tambahan Cok, kalau setoran gue pake buat beli begituan, nyokap sama adik gue di rumah makan apa Cok? Makan nasi aking? Untuk sehari-hari aja gue harus ngamen sampe sore. Itu juga belum tentu cukup buat beli makan untuk sehari man. Gimana jadinya kalau uang pas-pasan yang gue dapet dari ngamen gue pake buat beli barang-barang yang gue mau? Udah ya Cok, Dot gue cabut dulu.’’ Kataku sambil ngeloyor pergi meninggalkan mereka berdua yang masih asyik dengan kegiatan mereka menghisap serbuk di tangan mereka.
Bagiku narkoba dan sejenisnya nggak berguna sama sekali. Akupun tidak berminat menggunakannya. Setidaknya itu yang aku tahu dari potongan koran yang aku pungut di pinggiran jalan beberapa bulan lalu yang berisi artikel tentang narkoba. Pekerjaanku memang pengamen dan aku hanya anak jalanan tapi aku sangat gemar membaca. Aku ingin tahu hal-hal yang belum aku ketahui. Jadi kertas apapun yang berisi tulisan yang aku temukan di jalan dan di tempat lainnya tanpa segan akan aku ambil untuk aku baca. Yah walaupun kemampuan membacaku tidak begitu baik.
Tapi aku tidak bisa melepaskan kebiasaan membacaku ini. Karena aku ingin sekali sekolah. Saat di kampungpun aku selalu iri melihat teman-temanku pergi pagi-pagi memakai baju seragam bersama-sama dengan yang lain. Melihat mereka yang bersemangat membuatku ingin sekali seperti mereka. Aku ingin sekali menjadi guru. Aku ingin berbagi ilmuku. Aku ingin anak-anak sepertiku bisa bersekolah, mendapat pendidikan yang layak, dan masa depan yang cerah. Namun, aku harus mengubur sementara keinginan, cita-cita, dan harapanku itu. Karena aku sadar orang miskin sepertiku perlu perjuangan yang keras untuk bisa bersekolah.
“Ibu aku pulang.” Teriakku sambil membuka pintu.
“Dapat berapa banyak hari ini?” Sahut ibuku dari kamar yang hanya ada tempat tidur dari kardus. Sama sekali jauh dari kasur empuk yang nyaman.
“Sepuluh ribu, bu.” Jawabku.
“Apa? Cuma sepuluh ribu? Kamu pasti pake uangnya buat beli narkoba bareng si Ucok kan? Nggak mungkin dari pagi sampai sore ngamen cuma dapet sepuluh ribu.”
“Bu, Ridho nggak beli narkoba. Ridho nggak pakai uangnya sama sekali bu. Memangnya Ridho harus dapat berapa dari hasil mengamen seharian bu?” Kataku lelah karena sudah berputar-putar seharian.
“Dua puluh ribu kek atau bagusnya lima puluh ribu biar kita makan daging sekali-kali. Masa cuma dapet ceban. Kita mau beli apaan kalau hasilnya cuma segitu.”
“Bu, Ridho udah coba ngamen seharian. Tapi rezeki kita untuk hari ini mungkin cuma sepuluh ribu. Mau diapain lagi bu.” Lanjutku benar-benar putus asa karena ibu sama sekali tidak percaya.
“Awas aja kalau kamu bohong sama ibu. Kalau gini terus mendingan kamu pulang ke kampung sana. Bertani atau apa kek. Daripada disini nggak guna.” Sentak ibuku lagi.
“Tapi Ridho mau disini bu. Ridho mau sekolah.” Lanjutku mengungkapkan impianku berharap ibu mendukung apa yang aku impikan itu.
 “Apa? Buat makan aja susah. Kamu bilang apa? Mau sekolah?”
“Bu ....” Tidak aku sangka tanggapan ibu tentang impianku akan seperti itu.
“Kamu ngerti nggak si Dho. Orang miskin kaya itu dilarang sekolah! Kamu paham? Mending kamu kerja buat makan kita besok. Kalau bisa jangan dapet sepuluh ribu lagi. Duit segitu buat apaan?”
“Ya bu. Ridho usahain.” Kataku sambil menghela nafas berat dan panjang. Tanggapan itu ibu membuatku putus asa.
Apa benar yang ibu katakan? Bahwa aku tidak bisa sekolah?  Apa benar bahwa orang-orang miskin dilarang sekolah? Kalau benar kenapa? Kenapa orang miskin sepertiku tidak boleh sekolah? Apakah aku harus mengubur dalam-dalam mimpiku? Apakah aku akan terus hidup seperti ini tanpa ada kemajuan yang berarti? Hidup di jalanan dan mengamen untuk mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perut? Apa memang aku harus kembali ke kampung untuk bertani atau berkebun?. Walaupun aku pulang ke kampung aku tetap ingin sekolah. Aku akan mengusahakan sekolah sambil bekerja disana. Sedih rasanya mendengar ibu tidak mendukung impianku. Aku .... Aku ingin sekolah Tuhan ....
~~~
Sudah pagi lagikah? Setelah kejadian kemarin rasanya tak ada semangat baru yang aku rasakan. Hari-hari sebelumnya pun berlalu dengan biasa-biasa saja. Harusakah aku menghentikan semuanya? Menghentikan waktu, nasib dan mungkin nyawaku? Ah tidak tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus semangat lagi. Sudahlah yang penting aku harus ngamen dulu buat makan hari ini. Aku ingin melupakan kejadian kemarin. Kejadian yang tidak mengenakkan dan menghancurkan semangatku.
“... inilah saat terakhirku melihat kamu, jatuh air mataku menangis pilu, hanya mampu ucapkan .. selamat tinggal kasih .... terima kasih bu.” Ucapku menyanyikan salah satu lagu dengan menggunakan alat musik seadanya. Mungkin aku bisa jadi penyanyi terkenal nanti.
Dapat dua ribu nih. Syukur deh. Mudah-mudahan hari ini bisa dapat lebih dari sepuluh ribu. Supaya ibu tidak marah-marah lagi seperti sebelumnya. Aku ingin sekali membahagiakan ibu dan adik-adikku. Mendapatkan banyak uang dan membeli makanan yang enak dan layak untuk dimakan. Ahh .. Semangat !!! Aku harus kerja lagi dengan giat.
“Jreng ... jreng ... mau dibawa kemana hubungan kita jreng ... jreng .. jreng .... terima kasih banyak pak.” Ucapku menyanyikan lagu lagi. Mobil itu membuka jendelanya dan memberi uang lewat jendela itu.
“Terima kasih pak.” Kataku dengan semangat.
Yes, dapet dua ribu lagi. Asyikkk. Kalau begini terus aku bisa buat ibu senang nih.
“Loe kerja mulu Dho. Nggak capek apa? Sekali-kali ikut kita kek. Kita ngedrugs bareng bro. Daripada kita pusing-pusing mikirin hidup kita. Ya nggak Cok?” Teriak seseorang yang membuatku menolah mencari asal suara. Ternyata Didot dan Ucok yang lagi nangkring di pinggir jembatan.
“Bener banget Dot. Loe harus rasain deh Dho. Betapa nikmatnya ngedrugs. Nih kita baru beli yang baru dari agen.” Tambah Ucok sambil melambai-lambaikan barang haram seperti kemarin di tangannya.
“Apa enaknya si Cok .. Dot .. itu kan ....”
“ Ye .... loe belum nyoba aja. Jangan ngomong nggak enak dulu dong bro.” Potong didot.
“ Nggak aku coba juga aku tahu bagaimana rasanya. Liat aja badan kalian tuh. Kurus kering tinggal tulang tanpa daging. Mata kalian kuyu dan sayu seperti tidak tidur bertahun-tahun. Terus kalian tau nggak? Dengan narkoba kalian bisa ......”
“ Stop stop. Kalau loe kaga mau gabung ama kita ya udah kita. Sok tau banget si loe. Pusing gue denger ceramah loe. Mentang-mentang loe mau sekolah, jadi belagu. Ayo Cok kita cabut.” Sela Didot dengan marah dan langsung meninggalkanku sendiri.
Ya sudahlah. Yang penting aku tidak berminat sama sekali dengan barang haram itu. Ingat mereka jadi teringat impianku sendiri yang tadi Didot bilang. Andai saja aku bisa sekolah. Andai impianku ini bukan sekedar mimpi. Andai ... . Kuhela nafasku. Terus berandai-andai selalu mengosongkan semangatku.
Ahhh masih tengah hari tapi kota Jakarta sudah sangat gelap. Kenapa langit mendung? Aku kan ingin mengamen sampai sore. Kegiatan cari uangku sedikit terganggu nih. Karena cuaca nggak bersahabat gini, terpaksa deh aku harus beralih dari ngamen jadi ojek payung untuk sementara.
~~~
“ Ojek payungnya bu ... silakan ...” Kataku sembari menyodorkan payung besar yang kubawa pada seorang wanita yang baru keluar dari pusat perbelanjaan besa. Banyak sekali anak-anak sepertiku yang menunggu orang-orang keluar dan saling rebut untuk menawarkan payung mereka. Termasuk aku.
“ Ojek payungnya bu ...?” Kataku sekali lagi pada wanita paruh baya yang baru keluar.
“ Ya dik. Ibu butuh ojek payung.” Sahut wanita paruh baya itu memilih payungku. Aku langsung menyodorkan payung yang kubawa padanya.
“ Mau saya antar sampai mana bu? ” Tanyaku pada si ibu yang sedang berlindung dari hujan itu.
Ibu itu menengok ke arahku, menunduk sedikit dan menatap mataku sekilas sembari tersenyum. “ Ke parkiran dik.” Jawabnya.
“ Kalau boleh ibu tau, umur kamu berapa tahun? Udah lama ngojek payung?” Tanyanya membuyarkan lamunanku.
Dengan senyum aku menjawab. “ 15 tahun bu. Sebenarnya saya pengamen jalanan. Tapi kalau cuaca begini saya beralih profesi jadi ojek payung. Lumayan lah bu buat tambah penghasilan. Biar bisa makan juga.”
“ Ohh .... kamu sekolah?” tanya si ibu lagi padaku. Dan pertanyaan itu membuatku merenung lama. Lama sekali sampai si ibu mengerutkan alisnya heran.
“ Kamu sekolah? ” tanya si ibu mengulang pertanyaan tadi yang belum ku jawab.
Setelah menghela nafas panjang yang berat dan berdeham untuk mengembalikan suaraku yang entah kenapa tiba-tiba hilang ketika mendengar kata “sekolah”, aku tersenyum kecut dan dengan menyesal menjawab “tidak” dengan suara yang sangat kecil. Tapi anehnya, di bawah guyuran hujan yang lumayan deras, ibu itu mendengar jawaban yang aku berikan.
“ Kenapa nggak sekolah? ” Tanya ibu itu lagi.
“ Sebenarnya saya sangat ingin sekolah bu. Itu impian saya sejak dulu. Tapi ibu saya bilang orang miskin seperti saya ini dilarang sekolah. Jadi terpaksa saya mengubur impian saya untuk sekolah.” Jelasku sambil menitikan air mata mengingat kejadian kemarin.
“ Jadi kamu ingin sekolah?”
“ Sangat ingin bu.” Jawabku dengan nada mantap dan dengan semangat 45 seperti Didot saat menawarkan narkoba padaku beberapa jam lalu. Kamipun tiba di parkiran, ibu itu membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam mobil. Aku berdiri menanti upah kerjaku. Tapi ibu itu terlihat tidak seperti ingin mengambil dompetnya tapi mendongak menatapku dan sekali lagi bertanya padaku.
“ Kamu mau ikut saya?” Tanyanya mengejutkanku.
“ Ikut kemana bu?” Balasku ragu.
“ Ke tempat dimana kamu dan anak-anak jalanan lain seharusnya berada.” Jelas ibu itu yakin. Entah kenapa keraguanku hilang dan aku langsung naik ke mobil ibu itu. Aku sangat penasaran. Ke tempat aku dan anak jalanan lain seharusnya berada? Kemana? Ke panti asuhan? Panti sosial? Entah kenapa aku sangat penasaran. Perjalanan yang lumayan lama tapi mengasyikkan. Karena ibu itu memberi tahuku tentang banyak hal yang belum pernah ku ketahui. Hal yang selalu ku impikan sejak dulu.
Kami berdua sampai ke sebuah gedung. Gedung yang besar dan terlihat mewah menurutku. Aku berusaha membaca papan nama yang ada di depan gedung tersebut. “ Sekolah Khusus Anak Jalanan”. Kenapa ibu itu mengajakku kesini?
“ Ini adalah sekolah yang ibu dirikan untuk anak-anak jalanan seperti kalian. Walaupun bukan sekolah formal, apa kamu mau bersekolah disini?” Jelas ibu itu dengan nada yang terdengar seperti berharap. Entah benar atau tidak, tapi menurutku ajakan itu sangat menggiurkan sekali. Tapi....
“ Aku ingin sekali bu. Tapi bagaimana dengan ibu dan adikku kalau aku bersekolah disini?” Tanyaku mengulang pemikiran yang tidak ku ucapkan tadi.
“Hahahahaha” ibu itu tertawa hangat dan semakin membuatku tidak mengerti lalu ibu itu melanjutkan “ Kamu bisa membawa ibu dan adikmu kesini. Kami menyediakan tempat tinggal untuk anak-anak yang masih memiliki keluarga disini. Kalian juga tidak usah membayar apa-apa. Makanan dan fasilitas lainnya sudah kami sediakan. Adikmu juga nantinya bisa sekolah disini.”
“Yang benar bu? Saya bisa membawa ibu dan adik saya kesini?” Kata-kata ibu itu seperti selimut yang menghangatkanku di hari yang dingin ini. Ajakan yang sangat menggiurkan ini bukan sebuah mimpi kan? Ini kenyataan kan?
“Ya, tentu saja” Sahut ibu itu masih tetap tersenyum. “ Jadi kamu mau kan sekolah disini?”
“Mau bu. Sangat mau !!!” Seruku antusias. Mulutku pun tak bisa berhenti tersenyum lebar karena kesempatan besar yang telah diberikan padaku.
“Haha, baiklah baiklah. Saya mengerti semangatmu. Ayo kita jemput ibu dan adik-adikmu”
Terima kasih Tuhan. Kau telah mengirimkan seseorang yang baik hati itu padaku. Sepertinya aku ingin cepat pulang dan memberitahu ibu juga adikku mengenai berita baik ini. Aku yakin ibu pasti senang. Bukan hanya impianku yang tercapai. Tapi mungkin impian ibuku pun tercapai. Impian untuk hidup layak dan membahagiakan anak-anaknya. Aku yakin itu. Dan aku sangat berterima kasih pada ibu yang baik hati itu,seorang ibu yang tidak ku kenal tetapi memberiku kesempatan untuk bersekolah. Terima kasih. Tuhan. Kau telah mengabulkan doaku. Kau telah membuat mimpiku menjadi nyata. Dan aku akan bejuang keras agar nantinya aku menjadi orang yang berguna. Aku pun akan membantu anak-anak jalanan lainnya nanti. Semoga impianku dan impian anak-anak jalanan lainnya di Indonesia untuk menjadi seorang yang sukses bisa menjadi nyata.

End



Thanks to : Deisyana Utami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar